Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

25 November 2013

Aku Dan Masinis


Aku mengutip dari perkataan seseorang, “Hal yang paling kejam didunia ini adalah ketika suatu hari nanti kau memandang ke dalam mata seseorang dan membuatnya jatuh cinta kepadamu, namun tak seujung kuku pun kau berniat menangkapnya.”

Aku memutuskan sebuah rasa, tapi enggan melenyapkan satu kisah unik dalam hidupku ini. Aku mengerti, Tuhan pasti punya alasan tertentu mengapa Ia membiarkanku merasakan sebuah perasaan aneh dan bertahan menjadi pelaku cinta diam-diam yang tak bisa berucap apapun.
Aku hanya ingin Tuhan menyampaikan satu keyakinanku untuknya, dimana aku memang menyukainya karena Tuhan yang memberikan rasa itu. Bukan karena wajahnya atau wajahnya, atau apapun yang terlihat dari luarnya.

Aku berharap Tuhan menyampaikan suatu rasa padanya hingga ia tau bahwa aku memang menyukainya dengan tulus. Aku hanya ingin dia tau aku menyukainya, suatu hal yang tak mungkin kuungkapkan, Oleh sebab itu aku menitipkan rasa ini pada Tuhan.
Agar sekiranya Tuhan bisa menyampaikan ini padanya.

**********
Seseorang berkata, ‘Secara gak langsung kalian itu punya alur cerita sendiri, kalian berbicara lewat mata dan seulas senyuman’

Langit mendung, Januari 2013 
Aku terduduk disebuah kursi kayu yang terdapat dipinggir peron yang  terletak disamping loket pembelian karcis. Tumben.. aku datang lebih pagi dari kereta yang akan kunaiki. Biasanya, aku baru sampai stasiun bahkan saat kereta beberapa detik lagi akan berjalan. Tak heran jika ada beberapa masinis yang cukup hafal denganku. Karena aku sering membuatnya menunggu.

Dalam hati, “Siapa gue sih telat mulu, ditungguin mulu lagi.” Tapi untungnya aku selalu berterimakasih pada masinis-masinis yang rela menungguku lari dari ujung peron sampai loket karcis untuk menaiki keretanya. Walau mungkin dalam hati mereka sangat-amat jengkel terhadapku.

Kembali lagi ke paraghraf pertamaku. Ya, hari ini aku lebih awal banyak dari kereta itu. Hal yang paling membuatku jengkel adalah menunggu, dan kali ini aku gantian menunggu kereta itu dengan bosannya.
Untungnya sekitar lima menit kemudian, meleset lima menit dari jadwal pada awalnya, kereta jurusan Tangerang – Duri itu datang juga.

(Priiiiiitttttttt) 

Suara pluit penjaga pintu kereta dibunyikan. Aku memundurkan langkahku saat orang-orang di peron malah maju untuk menyambut kereta yang datang. Aku malas berdesakan dipintu kereta, yang menurutku itu sangat bahaya dan tidak baik. 

Sekarang kereta sudah berhenti tepat di depanku. Semua orang yang ada di peron cepat-cepat berebut naik, sedang aku tetap santai menunggu penyerbuan itu berakhir baru kemudian melangkahkan kaki perlahan kedalam kereta.

Saat aku menginjakkan kaki di dalam kereta, aku melihat seseorang dari dalam kabin membuka gorden kaca kabin dan menatapku sambil tersenyum. Reflek aku membalasnya, walau aku tidak mengenalnya sama sekali. Dan dia langsung menutup kembali Gordennya tepat saat aku menyudahi senyumanku padanya.

Entah masinis, Assistennya atau TKAnya yang barusan tersenyum padaku yang sepertinya sudah direncanakan sejak aku masih berdiri distasiun. Aku tak begitu ngeh.

Tak lama kereta berjalan dari Stasiun Ceper, kemudian kereta itu berhenti lagi di stasiun Poris yang jaraknya memang berdekatan. Di Sta. Poris, kereta lebih lama berhentinya karena menunggu persilangan kereta lainnya dari sta. Bukit Duri.

Aku melihat TKA dari kereta yang kunaiki turun dari kabin dan berdiri diperon, dia melihat kearahku dan tersenyum. Aku mengenalnya, sudah cukup lama. Dan tak lama kemudian, masinis kereta itupun turun, matanya juga langsung menatapku, kemudian menatap TKA itu dan kemudian menatapku lagi, dia tersenyum.

Manis...

Ah, dia yang tadi tersenyum padaku. Rasanya, aku baru melihatnya di kereta Tangerang. Mungkin sebelumnya dia tidak Dinas untuk jurusan Tangerang-Duri.

Aku rasa, dia terus memperhatikanku, bahkan ketika sudah duduk dikursi masinisnya. Satu hal yang selalu kusuka dari pekerjaan seseorang adalah, seragamnya. Seperti sebuah identitas mutlak yang membuatnya gagah dan selalu bangga mengenakannya. Tak bisa kupungkiri, dia dengan seragam masinisnya, sangat keren.

*************
Singkat cerita, kami berkenalan selepas kereta berhenti di sta. Akhir, Bukit Duri. Dia orang yang sangat ceria dan umurnya baru 22 Tahun.
 

Dihari-hari berikutnya kami berteman akrab, sampai akhirnya ia menyatakan cintanya padaku.

Aku akui kalau aku bodoh pada saat itu, dimana aku bilang padanya bahwa aku menyukai orang lain yang juga rekan kerjanya dan aku sudah mengenal rekannya itu jauh sebelum kenal dengannya. Tapi hanya sebatas cinta diam-diam... yang tak pernah tergapai.

Dengan tegasnya dia berkata padaku kalau dia mau menunggu, sampai perasaanku pada rekannya itu habis. Namun itu tidak mungkin, aku terlanjur menyayangi orang lain itu. Dan dia masih tetap kekeuh ingin menunggu sampai aku benar-benar tidak menyayangi orang itu lagi, karena dia tau, orang itu telah menyakitiku – tanpa sadar.
“Kamu belum pernah jalan, belum pernah telponan, kok bisa dalem banget gitu perasaannya ke dia?” kata si masinis itu. Di sebrang telpon aku tersenyum.

“Itu hebatnya dia...”

Aku memang banyak tersakiti oleh orang itu. Tapi aku tetap menyayanginya. Iya, memang benar kami tidak pernah jalan, dia tidak pernah menelponku, tapi kami selalu bertemu.
Dan penyesalan memang selalu datang belakangan.
Masinis itu, sebut saja dia Fian (Nama samaran) adalah orang yang selalu ada untukku, dia selalu menelponku, menanyakan kabar, sedang apa, jangan tidur malam-malam dan seterusnya. Dia selalu mengirimiku sms walau tak sesering menelpon. Dia selalu perhatian dan dia bilang baru merasakan sebegininya setelah bertemu denganku. Tapi aku mematahkan hatinya,,,,
Tapi dia tidak pernah marah, tidak pernah kecewa, dia selalu yakin kalau suatu saat nanti aku pasti akan berubah pikiran. Jadi saat aku menolaknya, ia hanya berpikir bahwa aku tidak pernah menolaknya, tapi aku sedang ingin mengenalnya lebih dalam lagi.

“Gimana kalo kamu perjuangin dia dan aku perjuangin kamu.. kita liat siapa yang akan menang!”

Aku selalu ingat kata-kata itu.

**********
Tanpa sadar bulan demi bulan berlalu. Aku dan Fian entah kenapa semakin dekat, walau aku masih belum bisa melupakan orang itu. Aku selalu terbuka pada Fian, aku menceritakan semua hal padanya, bahkan tentang perkembangan perasaanku pada orang itu. Tapi Fian tak pernah marah, dia selalu memakluminya.


Sampai akhirnya di kencan kedua kami, yang setelah beberapa minggu tidak pernah bertemu dikereta karena dia dinas Bogor. Fian mengajakku jalan.

Aku selalu senang kencan bersamanya, dia orang yang humoris dan selalu bisa membuatku tertawa, aku lupa tentang kesedihanku atas orang itu saat bersama Fian.

Fian yang selalu memerintahku untuk memeluk pinggangnya saat naik diatas motor Ninjanya, Fian yang selalu menggenggam tanganku saat berjalan dan Fian yang selalu menungguku sampai kereta yang sedang kunaiki berjalan.
 
Aku ingat saat itu kami bertemu di Sta. Poris. Aku menunggunya disana karena dia ada Dinas. Karena rumahku dekat dari sta. Poris akhirnya kami memutuskan untuk makan siang lebih dulu dirumahku.

Dan tanpa disangka ia mengajakku untuk sholat berjamaah sebelum makan. Jujur, selama aku hidup, baru dia cowok satu-satunya yang mengajakku sholat berjamaah, baru dia cowok yang bukan keluargaku – yang mengimamiku.

“Aku mau sholat dulu, bareng aja yuk!” katanya. Aku mengiyakan.

Ada sebuah ruang kecil disamping kamar tamu yang biasa digunakan keluargaku untuk Sholat. Sebelum Fian selesai berwudhu, aku menggelarkan sajadah untuknya dan untukku. Sambil menunggu gantian, aku membenahkan jacket kulit dan tasnya yang ia taruh diluar dan kemudian kembali ke dalam untuk menemuinya lagi.
 
“Makasih yah, aku lupa jacketnya masih di motor.” Katanya sambil mengusap rambutnya yang basah. Wajahnya terlihat segar sekali sehabis berwudhu. Aku berusaha menyembunyikan semburat merah yang tiba-tiba tercetak dipipiku.

“Iya, gak papa. Itu udah aku siapin,” aku menunjuk kearah ruang sholat kami. Dia tersenyum dan merogoh tasnya untuk mengambil peci, rupanya dia selalu membawa itu kemana-mana.

Selesai berwudhu, aku segera menyusulnya yang sedang bersila di sajadahnya. Mukenaku sudah terpasang ditubuhku, dan baru kali ini aku merasakan perbedaan getaran antara sholat sendirian dan sholat diimami oleh...Oleh seseorang yang mungkin sudah mengisi hatiku.
 
“Udah yah?” Dia menoleh. “Duh, cantik banget pake mukena..” dan dia tersenyum.
Aku selalu menyukai senyumnya yang manis itu. Awalnya sempat tidak percaya kalau dia jomblo. Atau punya pacar namun disembunyikan.

Tapi semua anggapan itu sirna ketika pada waktu itu dia mengenalkanku pada teman-teman masinisnya. Dari situ aku percaya, dia memang masih sendiri. Apalagi saat melihat senyum lebar malu-malunya saat memperkenalkanku dengan para senior-seniornya.

“Mau sholat masih aja gombal.” Aku tertunduk menyembunyikan wajah merahku.
Dan satu lagi, entah kenapa aku sangat senang ketika dia mengimamiku dengan seragam lengkap masinisnya. Ah, dia gagah sekali dengan seragamnya itu.
Dan ketika sholat, tiba-tiba airmataku jatuh begitu saja. Apalagi saat Fian masih kusyuk berdzikir – membelakangiku. Aku menatap punggung lebarnya sambil mengusap airmataku dan menahan senggukannya supaya dia tak mendengar. Kenapa aku tidak menyadari ada orang setulus itu disampingku dan aku malah menangisi yang lain, berharap pada yang lain yang bahkan tak pernah melakukan apapun untukku.

Airmataku terus mengalir, membuatku harus menutupi wajahku dengan mukena ketika Fian berbalik hendak menyodorkan tangannya padaku. Didetik-detik itu aku masih merasa bahwa Fian masih menatapku. Akhirnya aku menyingkirkan tanganku yang menghalangi wajahku, lalu tersenyum kearahnya.

Fian membalas senyumanku.

Reflek aku meraih tangannya yang masih menggantung – memintaku bersalaman – dan langsung menempelkan punggung tangannya dikeningku.

“Amin ya Allah, semoga jadi...!” racaunya.
“Jadi apa?” tanyaku heran.
“Udah aminin aja..”
“Amin..."

**********

Hampir  setiap pagi aku tersenyum dan berdoa semoga bisa melihatnya. Itu adalah hari-hari dimana aku menjadi seorang penyabar lebih daripada yang dulu.

Hari dimana kunikmati dengan indah proses-prosesnya. Hari yang membuatku menunggu kejutan-kejutan yang akan dilayangkannya padaku, hari dimana aku menyambut ceria kehadirannya saat tersenyum dikendali masinisnya.

Hari yang begitu indah ketika melihat senyum itu tergambar di wajahnya, hari yang begitu menakjubkan saat bibirnya berucap kata padaku hendak menyapa, dan hari yang begitu menarik saat dia terlihat mengajakku tertawa dan bercanda.

Hari yang begitu lama, namun sekarang menjadi begitu singkatnya....

Sampai akhirnya menjadi hari yang membuatku menyesal telah mengenal senyum dan suaranya.

Hatiku sesak karena sesuatu yang kupahami betul proses kejadiannya. Aku hanya ingin diam di sini. memandang kosong kearah depan stasiun sambil memperhatikan kereta berlalu lalang di depanku dengan waktu berselang lima belas menitan. 

"Mau kemana neng? Kok daritadi banyak kereta gak naik-naik?" tanya seorang satpam yang berjaga disekitar loket. Aku tersenyum tipis. 

"Nongkrong doang pak!" sahutku santai. Dia tersenyum lebar. 

"Nongkrong di stasiun, nongkrong mah di mall, kafe, gitu neng..." aku hanya tersenyum menanggapinya. Mood-ku sedang tidak baik.
Aku menunggunya disini, terus menunggunya. Kutaksir sudah sekitar tiga bulan aku tidak bertemu dengannya.
Dia yang setiap hari menanyakan kabarku kini lenyap. Aku sudah tak pernah menerima sms bahkan telponnya lagi. Aku mencarinya.. dan sampai sekarang belum menemukannya. Dimana dia? Apa yang membuatnya tiba-tiba lenyap dan pergi dariku?

Ini adalah ke dua bulannya aku tidak naik kereta, karena kantorku pindah. Dan satu bulan yang tersisa saat itu kupikir memuaskan diri untuk melihatnya duduk dikendali masinis. Tapi justru nihil, satu bulan sebelum kepindahanku aku malah lost contact dengannya.
Dan sekarang sudah genap tiga bulan aku kehilangan dia, sejak delapan bulan aku mengenalnya. Aku mulai menyesal, sangat-amat menyesal.

Kenapa dulu aku tidak bisa menerimanya? Kenapa aku selalu bercerita tentang orang lain yang tak pernah memperhatikanku, padanya? Kenapa aku menangisi orang lain didepannya? Padahal dialah yang selalu ada untukku.
Dan sekarang lihat...
Aku kehilangan dia. Rasanya lebih sakit daripada perasaan cinta diam-diamku yang tak pernah terbalas oleh orang itu.
Aku menyesal, aku ingin meminta maaf padanya dan bilang jangan meninggalkanku.

#Cinta sederhana hanya bagi orang yang terbalas hatinya. Karena sesungguhnya mencintai penuh tulus itu tak sesederhana kelihatannya. 

**********

Kamu tau saat begitu sulit menerima masa lalu saat kita sudah dihadapkan dengan masa yang baru?
Aku menyayangi orang lain yang bahkan tak pernah melihatku dan malah mencampakkan orang yang sangat menyayangiku.

Saat cinta tak pernah salah, apa mungkin yang kulakukan ini salah? Menyayangi orang yang tak menyayangiku dan meninggalkan orang yang menyayangiku hanya karena aku tak menyayanginya.

Kenapa cinta begitu sulit untuk dijelaskan?

Aku berharap pada orang lain disana yang bahkan tak pernah tau aku menangis dan bahagia untuknya. Menaruh harapan penuh sampai tak bisa melepasnya dengan mudah.

Yang jelas, saat kita tak perduli sebanyak apa airmata jatuh untuknya, saat kita tak perduli sedalam apa ia menyakiti kita dan saat kita tak perduli sesakit apa kita bertahan saat ia sudah menemukan yang lain.. itu berarti kita mencintainya.

Walau pada akhirnya harus mengalah dan harus merelakan bahwa dia bukanlah orang yang bisa menghapus airmata kita dengan tangan lembutnya.

Bahwa dia bukan orang yang akan berbalik memperjuangkan hatinya untuk kita..

Bahwa dia bukan orang yang juga mencintai kita..

Bahwa dia bukan orang yang juga menangis untuk kita..

Dan bahwa dia bukan orang yang bisa mengganti airmata kita dengan senyuman ceria.

Dia tidak bisa apa-apa.. sadarlah orang yang kita perjuangkan itu, dia tak bisa melakukan apapun untuk kita.

Dia payah, hanya pecundang yang tak bisa memahami sedalam apa orang mencintainya.

Namun, dia pecundang payah yang tak pernah bersalah. Karena Tuhan tak menciptakan hatinya untuk kita, karena Tuhan tak menciptakan bahunya untuk tempat kita bersandar dan karena Tuhan tak menciptakan lengannya untuk melindungi kita.

Bukan kita……
Tuhan menciptakannya untuk orang lain yang bukan kita.

Dan ketika Tuhan menciptakan bahu lain yang lebih indah..
Dengan sombongnya kita membuangnya.

“Padahal waktu itu aku mulai sayang sama dia, tapi dia pergi...”

“Mungkin dia cuma bunga-bunga yang diciptain Allah buat nyadarin kamu. Kalo ternyata harga seseorang yang kamu perjuangin gak ada apa-apanya dibanding dengan harga orang yang merjuangin kamu. Allah datengin dia pas kamu lagi patah hati sama orang itu, dan karena kamu gak bisa nata hati kamu, yang ada kamu malah nyakitin dia yang sayang sama kamu..”

“Aku tertawa banyak bersamanya saat itu, dan kuharap berlangsung lama. Tapi ternyata, dijalan sehalus apapun selalu ada kerikil yang menodainya.” 



5 komentar:

  1. yg kuat ya kak. Sedih baca ceritanya-_-'. aku juga sama nih lagi ke terpikat sama masinis

    BalasHapus
  2. Penyesalan selalu diakhir agar kita mudah untuk memperbaiki masa sekarang dan akan datang,yang sabar ya kak :)

    BalasHapus
  3. Aku mewek ������ kemarin aku juga ketemu masinis saling padangan"an, tapi bodohnya aku tidak melihat namanya ������

    BalasHapus
  4. ikutan sedih... masinisku menghilang...

    BalasHapus